Apa yang membuat Toraja menjadi sebuah budaya yang unik di dunia ? Jawabannya adalah “Toraja as the town of the living dead person” atau di-Indonesiakan menjadi ” Toraja “Kota” Orang mati yang hidup” Anda bingung ? Mau tahu jawabannya?. Ikuti tulisan berikut ini yang saya kutip dari tulisan Stanislaus Sandarupa di Kompas diselingi pengalaman dan pengetahuan saya tentang Toraja.
Kebanyakan orang berpendapat keunikan budaya Toraja adalah upacara kematian, (Ada yang mengatakan bahwa di Toraja mayat bisa berjalan ? atau Toraja terkenal karena mayat tidak dikubur tapi diletakkan dibukit-bukit) . Tapi pendapat ini kurang tepat, bukankah kita tahu upacara kematian dengan tingkat elaborasi yang tinggi ada dimana-mana, seperti upacara pemakaman pak Harto, atau upacara Ngaben di Bali dan Sumbawa. Keunikan budaya Toraja sebenarnya terletak pada kepercayaan dan praktik-praktik budaya yang memperlakukan orang mati seperti orang hidup atau tidak mati. Dan ini hanya ada dan terjadi di Toraja….
Orang Toraja memiliki satu sistem kepercayaan yang disebut Alukta. Agama ini sering disebut Aluk Todolo untuk menggambarkan bahwa agama ini adalah asli ciptaan leluhur orang Toraja. Disadari atau tidak, satu pandangan yang masih dianut dan dipraktikkan oleh hampir sseluruh masyarakat Toraja adalah pandangan tentang kehidupan yang berputar.
Manusia berasal dari langit, turun ke bumi – kehidupan di bumi – dan kembali lagi ke langit setelah mengalami transformasi. Pandangan ini nampak dalam semua aspek budaya Toraja. Misalnya dalam lagu-lagu duka ( badong ) narasi bergerak dalam tema ini : manusia lahir dari langit, turun ke bumi dan kembali lagi ke langit ( ossoran ). Rumah Tongkonan ( rumah adat Toraja ) dan alang ( lumbung padi ) didirikan mengikuti arah dari selatan ke utara sampai titik zenit tertinggi atau sebaliknya dari utara ke selatan ke langit tertinggi
“ORANG SAKIT”
Kalau anda berjalan-jalan ke Toraja saat ini, anda akan menemukan bendera putih di depan jalan dekat rumah seseorang dan hal ini dapat ditemukan dari kampung ke kampung. Bendera putih menandakan ada “orang sakit” dalam rumah yang disebut to masaki uluuna ( orang yang kepalanya sakit ) atau to makula ( orang yang sakit panas ).
Namun yang dimaksud dengan orang sakit di sini adalah orang mati yang hidup ( masih dianggap hidup ). Keadaan ini mudah ditemukan karena ada puluhan bahkan ratusan “orang sakit” yang sedang menunggu upacara.
Ungkapan-ungkapan ini dan bendera-bendera putih sebenarnya menunjuk pada seseorang yang sudah mati secara biologis tapi dipandang dari sudut budaya Toraja sebagai orang sakit. Ungkapan-ungkapan meteforis tersebut bersifat ambigu. Ia mengandung makna ketakutan akan kekuatan alam gaib, tetapi pada waktu yang sama juga berisi keinginan untuk menguasainya.
Sebagai orang sakit, ia dimasukkan dalam peti sementara dan ditidurkan di kamar tidur ruang selatan rumah Tongkonan yang disebut sumbung. Dia ditidurkan dengan kepala mengarah kepada matahari terbenam dan kaki ke arah matahari terbit, layaknya seperti cara orang hidup tidur.
Karena dianggap masih berada dalam kehidupan, maka tiga kali sehari ia mendapat makanan dan minuman. Yang membawa makanan berkata “bangunlah nenek, makanan dan minuman sudah ada”. dan ini benar-banar saya temui dan lakukan sendiri, Waktu itu nenek saya sudah meninggal dan saya berlibur ke rumah nenek. Waktu saya datang, saya menghampirinya dan berkata ” saya sudah tiba nenek” dan begitupun waktu saya pulang, saya pamit dan berkata “saya mau pulang dulu nenek”…( sebutan nenek bagi orang Toraja bisa untuk nenek ( perempuan ) dan untuk kakek ( laki-laki )_Pada siang hari dan terutama malam hari anggota keluarga dan para tetangga berkumpul dan bercerita dalam rumah sambil main domino dan minim kopi supaya tahan begadang. Kalau sudah ngantuk atau lelah, mereka tidur di sekitar “orang sakit” tadi tanpa ada rasa takut.
Sambil menunggu pelaksanaan upacara “orang sakit” dibaringkan di rumah selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun bergantung pada kesediaan keluarga untuk melaksanakan upacara. Ada yang sudah disimpan selama berbulan-bulan bahkan ada yang sampai lebih dari 20 tahun. Nenek-nenek saya dulu berada di atas rumah menunggu upacara antara 1 sampai 2 tahun. Dua nenek saya diupacarakan pada waktu saya masih SMP dan satu lagi waktu saya kuliah di Surabaya dan saya tidak dapat hadir untuk yang terakhir ini.
Dalam situasi demikian, orang lain sering susah membedakan rumah dan mana kuburan. Bagi orang Toraja kuburan asli disebut “banua tang merambu” ( rumah tanpa asap ) karena di dalamnya tidak ada dapur. Dapur adalah simbol kehidupan.
Alasan menyimpan si sakit berlama-lama, seperti beberapa komentar dari keluarga adalah agar anggota-anggota keluarga lainnya dapat melakukan dengan tepat dan baik sesuai dengan strata sosialnya. Para anggota keluarga harus punya waktu yang cukup untuk mencari uang untuk beli babi dan kerbau yang akan dikorbankan nanti kalau acara sudah dimulai. ( Hal ini sering menjadi lelucon dikalangan anak muda Toraja yang sedang mencari pasangan, Mereka sering menanyakan apakah nenek dari passangan mereka masih hidup apa sudah mati? Kalau masih hidup berari masih banyak biaya yang akan dikeluarkan nanti begitupun sebaliknya ). Alasan kedua, agar semua anggota keluarga dapat hadir karena-seperti diketahui_ banyak anggota keluarga yang merantau jauh…
“ORANG TIDUR”
Tibalah waktu untuk upacara. Upacara untuk orang dengan tingkat strata tinggi dilakukan sebanyak dua kali. . Upacara pertama ( aluk pia ) berlangsung selam 5 malam, sedang yang kedua ( aluk dio rante ) selama dua malam walaupun yang kedua ini biasa juga berlangsung berhari-hari. Antara upacara yang pertama dan yang kedua terkadang ada tenggangwaktu yang lamanya bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.
Sebagai rite of passage, ritus utama tetap bertumpu pada kontes ka’tu ( putus ) yang dimainkan pada berbagai simbol, yaitu yang mematikan dan menghidupkan, yang berakhir dengan memutuskan.. Mulai dari upacara mematikan , ditandai dengan pemindahan mayat ke ruang tengah tongkonan dengan kepala menghadap selatan degan kaki ke utara ( allo leko’na ) hingga upacara ma’parempa’ yang intinya menguburkan mayat dibagian selatan ruang tengah ( sali )
Si ‘sakit” lalu disimpan di atas rumah menunggu upacara kedua ( aluk dio rante ). Bisa dalam hitungan bulan atau tahun, bergantung pada kesiapan keluarga. Pada titik ini selain gelaran orang sakit, ia juga digambarkan sebagai “orang tidur dalam kelambu emasnya”..Ia tetap diperlakukan sebagai orang hidup dengan memberinya makan 3 kali sehari….
Ketika upacara kedua dilaksanakan, ritus pertama yang dilakukan adalah ma’tundan’, yaitu membangunkan dia dari tidurnya. Lalu posisinya diubah ke posisi mati ( to tungara ). Sejumlah ritus dilakukan disertai dengan korban hewan babi dan kerbau.
Berbagai upacara yang mengikutinya, hingga upacara ma’pasonglo, yaitu melakukan prosesi ke tempat upacara terakhir ( rante ), adalah tahap-tahap rite of passage yang memutus hubungan ( ka’tu ) dengan rumah tongkonan dan lumbung. Dia secara simbolis diputuskan dari rumpun keluarga.
Tetapi, ia diputuskan dari kampung halamannya bukan untuk pergi selamanya. Ia diharapkan menjadi nenek moyang yang aktif membangun hubungan kembali dengan orang hidup dan terutama diharapkan akan kembali melipatgandakan apa yang sudah dikorbankan untuknya ( sule ma’balloan barra ).
“ORANG MATI YANG HIDUP”
Dari uraian di atas tampaklah bahwa keunkan Toraja terletak pada pandangan yang berhubungan dengan human agency, keagenan manusia ( Giddens, 1990, Centrals problems In Social Theory ) dalam menangani kekuatan-kekuatan alam gaib. Tetapi uniknya, mereka tidak tunduk pada alam gaib khususnya yang berkaitan dengan kekuatan-kekuatan supernatural.
Ada kekaguman bahkan ketakutan dihadapannya, namun ada upaya mengontrolnya, dan bersahabat dengannya. Manusia dapat mengontrol alam gaib ( arwah ) dan inilah yang membedakan dengan agama besar lainnya dengan manusia selalu tunduk pada Sang Ilahi..
Ini pulalah yang menjelaskan mengap orang mati diperlakukan sebagai orang hidup. Orang mati tidak pernah mati, tetapi selalu hidup. Bukan hanya sebagai suatu pandangan hidup, melainkan sesuatu yang masih dipraktikkan sampai sekarang. Mereka sangat akrab dengan si “sakit” bahkan tidur bersamanya. Di Toraja Utara, kalau pasangan hidup mati, sang istri atau sang suami tidur bersama dengan si mati dalam suatu kelambu. Mirip kisah Romeo dan Juliet…..
Jadi Jangan Kaget!!!!!!Toraja memang ibarat sebuah kota yang dihuni oleh orang mati yang hidup……..
TOPIK LAINNYA
Nyi mas layung sari, bilik misteri, bokep ritual pesugihan, bokep genderowo, Ciri-ciri KETURUNAN Serunting Sakti, Tembok antartika menurut Al Quran, sipahit lidah keturunan siliwangi, Cara menjadi murid Sang Hyang Nur Cahyaning Nirwana, kesaktian angling darma vs siliwangi, missingqeu