Alkisah, di sebuah dataran tinggi terdapat hutan perawan yang sangat subur. Pepohononan dan rerumputan tumbuh memenuhi puncak-puncak gunung.
Berbagai jenis binatang hidup bagaikan di sebuah surga yang dipenuhi oleh sumber makanan. Sungai-sungai mengalir deras dengan gemercik airnya mengalun berirama indah.
Pada suatu saat, Batara Guru seperti biasa tengah bersantai di Wajang Panjang (khayangan/istana langit). Batara Guru selalu memantau keadaan bumi yang subur itu.
Tampaklah dalam penglihatannya segerombolan awan berarak yang semula mengepul tebal, kini terbuka lebar seakan ingin menampakkan sesuatu. Batara Guru tak ingin berpaling untuk menyaksikan hal apa yang ada di sana.
Dari kejauhan, tampaklah sebuah hutan yang sangat subur. Kicauan burung-burung terdengar merdu hingga menghibur hati sang Batara Guru. Atas panggilan hatinya, Batara Guru ingin turun untuk mengujungi daerah subur tersebut.
Tanpa diketahui siapapun, Batara Guru segera turun menuju bumi. Setibanya beliau di bumi, Batara Guru segera berkeliling di sekitar hutan. Apa yang beliau lihat sungguh sangat membuatnya takjub dan terpukau akan keindahan yang disajikan alam.
Hamparan hutan-hutanyang dikelilingi oleh sungai-sungai serta kehidupan di dalamnya sungguh membuat hati Batara Guru sangat terhibur. Baginya, hutan ini adalah taman surga bagi segenap makhluk hidup. Selain itu, tempat yang beliau saksikan saat itu juga tepat untuk dijadikan tempat berwisata.
Setelah beberapa saat mengunjungi bumi, Batara Guru bergegas kembali menuju istana langit. Saat itu juga beliau mengumpulkan seluruh pengikutnya. Batara Guru menyampaikan kejadian yang telah dialaminya di bumi.
Bagi Batara Guru, tempat itu adalah taman surga yang harus dijaga kelestariannya. Tentu saja, harus ada seseorang yang diutus untuk turun menetap ke bumi untuk menjaga bumi, khususnya taman surga itu. Tanpa menghabiskan banyak waktu, Batara Guru berkeinginan untuk memilih seseorang agar turun ke bumi.
Dari sekian banyak calon utusan tersebut, La Mattulia terpilih menjadi utusan untuk turun ke bumi. Batara Guru segera menyampaikan kepada seluruh pengikutnya bahwa La Mattulia akan mengemban tugas menjaga negeri subur itu.
“Wahai La Mattulia Sang Penjiwa Besar, datanglah dekat padaku!” seru Batara Guru.“Baiklah Yang Mulia Sri Paduka Batara Guru. Ada apa gerangan YangMulia memanggil saya?” sahut La Mattulia.
“Di negeri bawah langit terdapat taman surga yang sangat indah, dantentu saja harus ada seorang utusan yang menjaganya.” ungkap Batara Guru.“Kalaupun demikian Sri Paduka Batara Guru, apa yang dapat saya perbuatuntuk negeri itu?” tanya La Mattulia. “Bagiku, engkaulah yang terpilih untuk menjaganya dan kau harus bersedia.” perintah Batara Guru.
“Baiklah Sri Paduka. Jika itu perintah maka saya akan melaksanakannya.”sahut La Mattulia. “Dengarlah! Karena engkau adalah manusia maka ketika turun, kau takakan bisa kembali lagi ke istana ini.” ungkap Batara Guru lagi. Pada saat itu La Mattulia merasa bimbang. Lantas ia berfikir sejenak. Keputusan yang diambilnya tidak akan dapat ditarik. Tentu saja karena itujuga perintah Sang Penguasa Wajang Panjang yang tidak boleh terbantahkan.
Setelah mempertimbangkannya, La Mattulia segera menyampaikan keputusannya bahwa ia akan melaksanakan perintah Batara Guru. “Yang Mulia, apakah saya akan hidup dalam kesendirian?” tanya La Mattulia. “Ya. Namun engkau tidak perlu khawatir karena saya akan turun menemuimu sesekali dan untuk bertamasya ke negeri itu.” jawab Batara Guru.
“Baiklah Sri Paduka Batara Guru, semua negeri ini milikmu, maka tidakboleh ada satu pun yang membantah perintahmu.” ungkap La Mattulia. “Jikalau demikian wahai La Mattulia, segeralah berbenah diri untuk berangkat seorang diri.”
“Baiklah Sri Paduka.” kata La Mattulia. Ia segera mempersiapkan diri. Sesungguhnya, kebimbangan itu masih menyelimuti dirinya. Rasa sedihpun mendera dalam hatinya karena akan meninggalkan istana kerajaan langit yang dipenuhi oleh kenikmatan.
Namun di sisi lain La Mattulia harus tunduk dan patuh kepada Batara Gurusang pemilik kerajaan langit. Setelah semua siap, La Mattulia kemudian menghadap Batara Guru. Setelah itu, mereka berjalan menuju ujung istana, tempat di mana LaMattulia akan diturunkan ke bumi. Tak berapa lama, tanggapun diturunkan untuknya. Ujung tangga itu berakhir tepat di atas batu bercorak bulan dan bintang.
La Mattulia menuruni tangga tersebut menuju bumi. Ia hanya berbekal pelindung kepala (pasapu), kawali (keris) yang diselipkan di ikat pinggang, gelang emas di kedua lengannya, serta tombak (kansai) bermata emas putih.
Dalam langkahnya menuruni tangga dan hampir menginjakkan kaki di bumi, La Mattulia memandang sejenak sekelilingnya. Tampaklah serumpun bambu kuning yang tumbuh subur di dekat pijakan tangga. Dalam benak LaMattulia, ia berfikir bahwa memang alam ini bagaikan sebuah surga, maka pantaslah jika Sri Paduka Batara Guru memilih dan mengutus seseorang untuk menjaganya.
La Mattulia kemudian berpaling bergegas menapakkan kakinya di bumi. Begitu ia berdiri di atas bumi, tangga tersebut ditarik kembali menuju khayangan. Pertama kali La Mattulia menginjakkan kaki kanannya pada batu bulan pijakan tangga, muncul sebuah sumber air yang menyembur dengan deras ke atas, tepat dimana ia menapakkan kaki pertamanya.
Selain itu, terdengar bunyi gemuruh yang datang dari berbagai penjuru. Ternyata, suara gemuruh itu muncul dari sekawanan binatang yang menghampirinya. Binatang-binatang tersebut dipimpin seekor kuda putih bercula satu yang memancarkan cahaya. Batara Guru ternyata mengirim kuda putih itu untuk digunakan La Mattulia dalam mengelilingi alam sekitar.
Ketika semua binatang telah mendekat padanya, binatang-binatang tersebut tunduk dan duduk mengelilingi La Mattulia. Setelah itu, keluarlah suara dari kuda putih itu seraya menyapa La Mattulia.
“Wahai kau Sang Utusan Penguasa Langit, selamat datang di bumi ini.” kata sang kuda.
“Wahai kau Kuda, apakah maksud dan tujuanmu menghampiriku bersama binatang-binatang ini?” tanya La Mattulia.
“Wahai Utusan, aku diperintah oleh Sang Penguasa Langit untuk menemanimu sekaligus untuk tunduk perintahmu.” jawab sang kuda putih.
“Jikalau demikian, bagaimana dengan seluruh binatang-binatang ini?” tanya La Mattulia lagi. “Mereka datang untuk menemui sang pemimpin. Engkaulah pemimpin kami di alam ini, karena ini perintah dari Sang Penguasa Langit.” jawab sangkuda putih.
Seiring berjalannya waktu yang terus berlalu, La Mattulia mengalami perubahan waktu siang dan malam. La Mattulia merasa sedikit menderita menghadapi alam itu. Jika terik matahari, La Mattulia hanya dapat berlindung di bawah pohon rindang. Dan jika hujan lebat datang, La Mattulia hanya dapat berteduh di bawah daun lebar.
Pada saat malam tiba, rasa dingin terasa menggigit sekujur tubuhnya, namun ia hanya dapat menghangatkan dirinya dengan menggunakan daun-daun kering yang ditumpuk dan menyalakan api untuk menambah kehangatan di sekitarnya.
La Mattulia sangat sedih mengenang kenikmatan saat berada di taman langit yang sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan kehidupannya di bumi, yang hanya dapat bernaung di dalam gua dan di bawah pohon. La Mattulia hanya dapat berangan-angan membayangkan kehidupannya di sana.
Tanpa ia sadari, sang kuda memperhatikan tuannya dan merasa iba. Maka datanglah kuda itu mendatangi La Mattulia dan segera menyapa. “Wahai pemimpinku, engkau kini sangat menderita bersama alam.” seru kuda putih itu. “Iya, namun saya tak berdaya menghadapinya.” jawab La Mattulia.
“Bagaimana jika kita membangun suatu tempat bernaung dari terik, panas dan dingin.” ungkap kuda putih. “Usul yang sangat bagus wahai Kuda Putih.” ungkap La Mattulia.
Setelah bersepakat, berangkatlah kuda putih guna memerintahkan beberapa binatang untuk mengambil hasil hutan yang dapat dijadikan suatu bangunan. Setelah bahan bangunan terkumpul, La Mattulia merasa bingung bagaimana ia harus memulai mendirikan gubuknya.
La Mattulia harus mencari di lokasi yang tepat. Hingga sang kuda putih berinisiatif berkeliling di sekitar batu bulan yang menjadi sumber air. “LaaLaa…LaaLaa…LaaLaa!!!” ungkap kuda putih itu pada La Mattulia.
La Mattulia terkagum saat kuda putih menyebut mata air itu dengan nama “LaaLaa”. Ternyata sang kuda putih memilih tempat di samping mata air LaaLaa sebagai tempat didirikan gubuk. Kemudian La Mattulia bersama kuda putih dan semua binatang, ikut membantu untuk mendirikan sebuah bangunan hingga selesai.
Rasa nyaman kini dirasakan oleh La Mattulia setelah huniannya selesai didirikan. La Mattulia kemudian menyebut nama rumahnya sebagai “Rahampu’u” (rumah pertama). Hingga beberapa bulan setelah ia tinggal di rumahnya, sumber mata air LaaLaa dilanda kekeringan.
Sumber air yang biasa digunakan olehLa Mattulia kini kering. Begitu pula dengan sungai-sungai yang berada di sekeliling hutan. Ia dan binatang-binatang tidak dapat memperoleh air minum sehingga setelah beberapa hari tampak tubuh La Mattulia sangat lemas.
Bibirnya kering dan kulitnya mengerut. Batara Guru ternyata menyaksikan kejadian tersebut dari istananya dan merasa iba pada La Mattulia. Maka turunlah Batara Guru untuk mengunjungi La Mattulia yang sedang mengalami penderitaan dengan menunggangi sang kuda putih yang telah terlebih dahulu mengetahui kedatangan beliau.
LaMattulia terkejut melihat sosok Batara Guru telah berdiri di depan pintu pondoknya di suatu hari. Dengan tubuh lunglainya, La Mattulia terpaksa bangun untuk memberi hormat pada Batara Guru. “Hormatku yang mulia pada Sri Paduka Batara Guru.” kata La Mattulia.
“Wahai La Mattulia, engkau tampak sangat menderita, namun jangan berkecil hati.” kata Batara Guru. “Saya sangat kehausan wahai Sri Paduka.” ungkap La Mattulia. “Turunlah dari rumah ini dan ikutlah denganku menuju sumber mata air itu.” ajak Batara Guru.
Turunlah Mattulia bersama Batara Guru dengan menunggangi kuda putih menuju mata air LaaLaa. Kemudian Batara Guru mengangkat tongkat dan menghentakkannya pada batu bulan. Dengan suara lantang dan mendera “Bura…bura…bura…” keluarlah air yang deras di sekeliling batu bulan itu, meskipun pada saat itu sedang musim kemarau panjang.
“Minumlah! Air ini tak akan pernah kering.” kata Batara Guru. Segeralah La Mattulia meminum air untuk melepas dahaganya selama berhari-hari. Setelah menyelesaikan permasalahan tersebut, Batara Guru kemudian kembali ke khayangan. La Mattulia merasa sangat bersyukur atas karunia yang diberikan oleh Batara Guru yang tiada taranya.
Hari ke hari, minggu ke minggu bahkan bulan ke bulan, air yang keluardari mata air itu semakin banyak hingga membentuk suatu kubangan. Bahkan setelah kubangan itu penuh, airnya akan meluap dan mengalir menuju timur menuju kubangan besar.
Mata air LaaLaa kini menjadi sumber air yang membentuk waduk kecil. Seiring berjalannya waktu, La Mattulia sering merasa hampa dalam kesendirian tanpa ada yang menemani selama beberapa tahun hidup dibumi. La Mattulia hanya dapat menyaksikan beberapa pasang binatang yang bereproduksi dan berkembang biak.
Dalam benaknya, ia merasa bahwa sebagai seorang lelaki tentunya ia ingin memperoleh pasangan dan berkembang biak agar memiliki teman hidup. Hingga pada suatu hari, Batara Guru kembali turun untuk bertamasya ke bumi. Rasa iba kembali muncul dalam benak Batara Guru saat menyaksikan kesunyian yang dialami oleh La Mattulia.
Batara Guru lantas menyampaikan pesan pada La Mattulia agar ia memotong sebatang bambu kuning yang tumbuh di sekitar mata air setelah Batara Guru kembali ke khayangan. Maka sekembalinya Batara Guru ke khayangan, La Mattulia bergegas untuk mengambil ponai (parang) dan sesegera mungkin melaksanakan perintah Batara Guru untuk memotong bambu kuning itu.
Sekali ia menghujamkan parang hingga pohon bambu itu terpotong, seketika itu pula keluarlah seorang wanita cantik bergaun emas yang berkilau. La Mattulia terkejut karena tidak membayangkan sebelumnya apa yang akan terjadi.“Siapa gerangan engkau?” tanya La Mattulia pada wanita itu.
“Saya adalah We Dawa sang peri penghibur lara.” Jawab wanita cantik ituseraya tersenyum pada La Mattulia. Rasa gembira datang membuncah dari perasaan La Mattulia. Ia merasa telah memiliki teman hidup. Kuda putih pun datang menghampiri mereka.
La Mattulia mengawali perkenalannya dengan menunggangi kuda putih miliknya untuk berkeliling di sekitar sambil menikmati pemandangan alam. Rasa cinta mulai timbul dalam benak meraka. Setelah hidup bersama beberapa waktu, mereka akhirnya memutuskan untuk segera memulai rencana memiliki keturunan.
Maka mulailah mereka bereproduksi saat tengah malam dimana semua binatang-binatang telah tertidur. Tanpa menunggu waktu yang lama, We Dawa akhirnya mengandung anak dari La Mattulia. Rasa senang yang sangat mendalam mengiringi setiap langkah La Mattulia.
Setelah beberapa lama menunggu, anak itu kemudian lahir. Seorang anak laki-laki yang tampan kini telah melihat dunia. Lengkaplah sudah kegembiraan La Mattulia. Bahkan setiap tahun istri LaMattulia mengandung anaknya hingga anak ke tujuh.
Dari ketujuh anaknya hanya ada satu yang berjenis kelamin perempuan yaitu anak bungsu yang bernama We Riga. Anak-anak mereka bertumbuh dewasa. Semua anak lelaki membantu ayahnya untuk berladang. Sedangkan si bungsu membantu ibunya menyiapkan makan.
Semua anak-anaknya makin dewasa. Sesekali muncul pergolakan antara saudara laki-laki. Kadang-kadang La Mattulia kesulitan melerai anak-anaknya yang bertikai. Terutama kecemburuan sering kali terjadi pada si bungsu yang mendapatkan perhatian lebih dari keenam saudara laki-lakinya.
Hingga pada suatu saat keenam anak lelaki itu memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman. Mereka pergi terpisah di berbagai penjuru mata angin. Si Sulung menjadi yang paling akhir untuk pergi meninggalkan kampung halaman.
Sebelum berangkat Si Sulung mengambil sebatang bambu kuning yang telah ditajamkan ujungnya. Kemudian Si Sulung berniat,“Aku akan berjalan meninggalkan kampung ini dengan menutup mata agar tidak terlihat oleh apapun dan siapapun, dimana aku lelah di situ aku akan tancapkan bambu ini maka aku akan terlihat dan di situlah aku akan hidup menetap.”
Sekejap Si Sulung tiba-tiba menghilang dari pandangan orang tuanya. Kemudian ia berjalan menuju arah mata angin selatan dengan menutup mata. Tinggal mereka bertiga bersama Si Bungsu di kampung itu. Rasa rindu melanda keluarga.
Bagi La Mattulia, ia selalu berharap agar bisa bertemu dengan anak-anaknya kembali kelak, walaupun usianya telah semakin tua. Entah, di manakah ketiga putranya kini berada. Si Bungsu sendiri kemudian merasakan kesunyian. Melihat orangtuanya yang semakin menua membuat hatinya bergetar.
Siapa yang akan menemaninya ketika orang tuanya telah tiada. Tak ada satupun saudara disampingnya. Keinginan untuk memiliki pasangan sesekali muncul dalam hati, namun tak ada manusia lain di kampung Rahampu’u kecuali mereka bertiga.
Hingga akhirnya We Riga memutuskan untuk merantau selama beberapa tahun. Dia berjanji akan kembali untuk menjenguk orang tuanya. Maka berangkatlah We Riga menuju Barat, dan tinggallah La Mattulia dan We Dawa berdua dalam kesunyian dan usia senjanya. Hingga pada suatu hari,We Dawa sakit keras. La Mattulia merasa iba pada istrinya karena penyakit istrinya itu tak kunjung sembuh.
Dengan usia tuanya kini, La Mattulia tak lagi mampu untuk melakukan kegiatan seperti biasanya, apalagi membuat ramuan obat untuk istrinya. Ditambah lagi bahan ramuan tersebut berada jauh dari kampung. Untuk mendapatkan bahan itu tentunya membutuhkan waktu berhari-hari.
Maka hanya tinggal kepasrahan yang dimiliki oleh LaMattulia. Semakin hari penyakit Wa Dawa semakin parah dan menyedihkan. Iahanya dapat berbaring tak berdaya di atas pembaringannya, serta tidak mampu untuk hanya membuka mata dan mengucap satu dua kata dari mulutnya.
Hingga sampai suatu malam menjelang dini hari, saat mereka berdua tertidur pulas, La Mattulia terbangun dari tidur. Ia menoleh ke samping untuk melihat istrinya, namun Wa Dawa telah menghilang. LaMattulia menjadi sangat panik dan segera bergegas keluar untuk menemui kuda putih penjaga mata air LaaLaa.
La Mattulia menyampaikan kejadian itu pada sang kuda putih. “Wahai Kuda Putihku, apakah kau melihat istriku?” tanya La Mattulia. “Ya. Saat engkau tertidur datanglah seorang utusan penguasa langit untuk menemui istrimu.” jawab kuda putih.
“Mengapa…Mengapa ia menemui istriku?” tanya lagi La Mattulia. “Utusan itu mengatakan bahwa We Dawa adalah seorang peri dan kini masanya untuk menemanimu di bumi telah berakhir. Sudah saatnya dia kembali ke negerinya, Negeri Kupu-Kupu.” jawab kuda putih.
“Apa maksudmu wahai kuda putih?” tanya lagi La Mattulia semakin penasaran. “Istrimu berasal dari Negeri Peri Kupu-Kupu, maka ia kembali menjadi kupu-kupu. Namun ia akan tetap berada di sekelilingmu, La Mattulia.” jawab kuda putih. “Sungguh, saya sangat merindukannya.” ungkap La Mattulia. Kini La Mattulia kembali hidup sebatang Kara. Tak ada istri dan tak ada anak anaknya. Penyakitpun mulai melanda.
Semakin hari, keadaan La Mattulia semakin menderita karena penyakitnya. Ia tidak mampu untuk makan dan minum sendiri. Tidak ada yang dapat ia lakukan sekarang kecuali hanya berbaring. Hingga suatu hari, We Riga kembali dari perantauannya dengan membawa seorang pasangan hidupnya.
We Riga sangat terkejut melihat keadaan ayahnya yang memprihatinkan, terbaring lemah di dalam kamarnya tanpa seorangpun menemaninya. We Riga juga mencari ibunya.
“Ayah, apa yang terjadi padamu?” tanya We Riga.“Aku telah lama sakit, anakku.” jawab La Mattulia. “Lalu di mana ibu sekarang?” tanya lagi We Riga.“ Ia telah dijemput seorang yang diutus oleh Penguasa Langit untukkembali ke tempat asalnya.” jawab La Mattulia.
“Mengapa? Mengapa? Mengapa ibu dijemput?” tanya lagi We Riga sambil beruraian air mata. “Karena waktu untuk menemani ayah telah habis, Nak. Ibumu adalah seorang peri dan ia harus kembali ke tempat asalnya jika waktunya telah habis. Dan kini ibumu telah menjelma menjadi seekor kupu-kupu dan akan tetap berada di sekeliling kita.” jawab La Mattulia.
Mendengar hal itu, We Riga merasa sangat gundah. Kerinduan akan ibunya kini tiada taranya. Ada rasa sesal dalam hatinya sebab ia tidak sempat bertemu ibunya sejak perantauannya. Namun masih ada hal yang menyenangkan hatinya karena ibunya telah menjelma menjadi seekor kupu-kupu dan akan tetap berada disampingnya.
Sekembalinya Wa Riga kerumah, ia memutuskan untuk tinggal bersama suaminya di rumah tersebut untuk menemani serta merawat ayahnya yang tengah sakit. Sampai suatu hari, La Mattulia meninggal dunia karena sakitnya. Lengkaplah sudah kesedihan We Riga.
Ayah yang menjadi satu-satunya orang tuanya yang tersisa kini telah meninggal dunia. We Riga hanya dapat meratapi nasibnya. Saat We Riga bersama suaminya menguburkan ayahnya, tampak seekor kupu-kupu terbang berkeliling di sekitar mereka. “Itu pasti ibu.” kata We Riga pada suaminya. Kupu-kupu itu masih tetap berada di sekitar pemakaman hingga We Riga dan suaminya pulang.
Tinggal beberapa tahun bersama suaminya, We Riga memiliki anak yang cukup banyak. Kampung Rahampu’u kini semakin ramai. Beberapa keturunan mereka mengikuti jejak ibunya untuk merantau ke negeri lain.
Setelah beberapa tahun meraka pasti akan kembali membawa pasangannya. Yang paling menakjubkan adalah sumber mata air LaaLaa yang terus mengalirkan air yang sangat melimpah hingga membentuk waduk baru yang semakin lama semakin luas dan dalam. Semua itu karena mata air LaaLaa tidak pernah kering hingga menjadi sumber air bagi waduk itu.
Suatu ketika, terjadilah lolowi (bencana alam) yang menyebabkan terjadinya retakan di tengah waduk. Waduk yang tadinya dangkal kini menjadi sangat dalam. Ketakutan melanda seluruh masyarakat. Bertahun-tahun waduk yang terbelah itu terus dipenuhi dengan air yang berasal dari air LaaLaa, hingga menjadi sebuah danau yang dalam dan luas.
Waduk itu kini menjadi sebuah danau, dan semakin lama airnya semakin meluap dan membentuk danau-danau baru. Danau-danau tersebut bersumber dari mata air LaaLaa. Sebagian masyarakat sekitar memilih untuk hidup berpindah di tepi-tepi danau yang telah terbentuk.
Masyarakat kampung menamakan danau tersebut sebagai danau Matano. Matano berasal darikata Mata (mata/pusat) dan No (nya) dalam arti sebenarnya yaitu pusatnya air. Mengapa demikian? Karena sumber air danau tersebut berasal dari mata air LaaLaa.
Seiring waktu yang terus berputar, peradaban pun makin berkembang di kampung Rahampu’u. Sesekali terjadi pertikaian antar warga. Wabah penyakit juga kian melanda. Kaum lelaki saling bentrok. Perebutan wilayah dan kekuasaan makin marak. Hingga pada suatu saat setelah beberapa abad lamanya, para orang tua akhirnya sepakat untuk mencari seorang pemimpin.
Mereka berkeinginan agar pola kehidupan sosial di kampung itu tertata dengan tertib, aman dan nyaman. Salah seorang yang dituakan menyeru kepada seluruh warganya untuk berkumpul. Disampaikannya rencana itu dan orang-orang akhirnya sepakat untuk memilih pemimpin.
Maka mulailah orang-orang tua itu menyusun perangkat pemerintahannya, dan pada akhirnya, tujuh perangkat pemerintahan tersusun sesuai tangggungjawabnya masing-masing, yaitu:
1) Mokole Rahampu’u
2) Mohola Rahampu’u
3) Pabitara Rahampu’u
4) Papangara
5) Karua
6) Bonto
7) Mia Mota’u
Setelah semua perangkat pemerintahan selesai disusun, para orang tua kembali mengumpulkan seisi kampung untuk segera melakukan pemilihan perangkat pemerintahan. Ritual acara dilakukan untuk memperoleh restu dari Sang Penguasa Langit.
Mulailah mereka duduk bersila di suatu pendopo untuk melakukan diskusi dan kriteria. Tentu saja yang akan terpilih harus memenuhi kriteria yang telah ditentukan. Setelah dilakukan perundingan, jatuhlah keputusan bahwa La Pasau-I ditunjuk sebagai pemimpin pemerintahan dengan mengemban tugas sebagai Mokole Rahampu’u.
Menyusul pengambilan keputusan untuk beberapa perangkat pemerintahan yang lain. La Pasau-I tidak dapat menolak. Tanggung jawabnya menjadi seorang pemimpin tentu saja harus dijalaninya dengan arif dan bijaksana, karena semua itu demi kemaslahatan bangsanya.
La Pasau-I akhirnya memimpin pemerintahan sebagai Mokole Rahampu’u yang pertama. Dalam pemerintahannya, kehidupan sosial akhirnya dapat berjalan dengan damai. Kelaparan tidak pernah melanda rakyatnya. Wabah penyakit berkurang. Yang paling utama adalah terciptanya kedamaian, ketenangan dan ketenteraman di kampung Rahampu’u.
Diera pemerintahannya, perkembangan populasi manusia meningkat pesat. Jumlah kelahiran lebih banyak daripada jumlah kematian. Orang-orang hampir tidak ada yang mati muda. Hingga akhirnya La Pasau-I menghimbau agar memecah kampung Rahampu’u menjadi kampung-kampung baru.
Rencana pemekaran kampung akhirnya rampung. Beberapa nama kampung dan lokasi telah ditetapkan. Nama-nama kampung tersebut adalah Kampung Rahampu’u, Kampung Lemo Gola, Kampung Gampu Sera,Kampung Mata Alu dan Kampung Lembara.
Penetapan kampung-kampung itu ditetapkan berdasarkan situasi politik dan rencana pengembangan laju ekonomi. Kampung Rahampu’u ditetapkan sebagai pusat pemerintahan. Kampung Gampu Sera ditetapkan sebagai kampung perkebunan dan ketahanan pangan.
Kampung Mata Alu ditetapkan sebagai kampung perindustrian. Kampung Lemo Gola ditetapkan sebagai kampung perdangangan dan perniagaan. Kampung Lembara ditetapkan sebagai kampung pertahanan dan keamanan.
Kelima kampung tersebut akhirnya terbentuk. Beberapa orang dipindahkan untuk menetap pada tiap-tiap kampung. Untuk lebih mempermudah keadaan politik dan ekonomi haruslah ada pemimpin-peminpin yang diangkat sebagai Mokole.
Karena telah mekar maka status pemerintahan dikampung Rahampu’u berubah menjadi:
1) Mokole Wawa Inia Rahampu’u
2) Mohola Wawa Inia Rahampu’u
3) Pabitara Wawa Inia Rahampu’u
4) Papangara
5) Karua
6) Bonto
7) Mia Mota’u
Sedangkan untuk 4 kampung lain pemimpinnya hanya bergelar Mokole (kepala kampung).
TOPIK LAINNYA
Nyi mas layung sari, bilik misteri, bokep ritual pesugihan, bokep genderowo, Ciri-ciri KETURUNAN Serunting Sakti, Tembok antartika menurut Al Quran, sipahit lidah keturunan siliwangi, Cara menjadi murid Sang Hyang Nur Cahyaning Nirwana, kesaktian angling darma vs siliwangi, missingqeu