Pekerjaan meratakan bukit di lingkungan RS Dr Kariadi Semarang justru menyingkap keberadaan bagunan kuno yang selama ini tersembunyi di bawah tanah.
Bentuknya mirip gua atau lorong, dengan pintu masuk kotak dengan ukuran tinggi sekitar 2 meter dan lebar 1 meter. Apa sebenarnya fungsi dan siapa yang membangunnya, masih teka-teki. Sebagian orang mengaitkannya dengan lorong bawah tanah Lawang Sewu, ikon Semarang bekas kantor Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS.
Sejarawan dari Universitas Diponegoro Semarang, Profesor Dewi Yuliati berpendapat, dilihat dari lokasi dan lebar lubangnya, kemungkinan besar bangunan itu adalah gorong-gorong atau sistem drainase rumah sakit. Bukan bunker atau penjara bawah tanah.
Apalagi, sejak awal bangunan yang ditempati RS Kariadi, memang difungsikan sebagai rumah sakit. “Dulu di zaman kolonial, gorong-gorong air memang berukuran besar. Jadi kecil kemungkinan itu adalah bunker untuk perlindungan jaman perang,” kata Dewi.
Dewi menjelaskan bahwa pembangunan suatu gedung kala itu, selalu dilengkapi dengan drainase utama. Besar kemungkinan drainase itu dibangun awal abad ke-20, berbarengan dengan pembangunan rumah sakit.
Sejarah mencatat, pada tahun 1919, dokter Belanda, dr. N.F. Liem menggagas pembangunan rumah sakit besar di Semarang. Ide tersebut terwujud pada 9 September 1925 dengan berdirinya “Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting” atau CBZ — cikal bakal RS Dr Kariadi yang berkapasitas 500 tempat tidur.
Tak hanya fasilitas yang lengkap untuk ukuran zamannya, perencana bangunan, Ooiman Van Leeuwen dan Opzichter, juga memikirkan sistem drainase yang langsung menembus hingga banjir kanal barat. Selain sebagai saluran limbah rumah sakit, drainase yang besar ini juga menjadi alternatif mengatasi banjir.
Dewi Yuliati menambahkan, dalam sejarah rumah sakit, tak pernah disebut soal keberadaan bunker. Bangunan drainase tersebut kemungkinan sejak dulu memang terletak di bawah tanah.
“Jika ukurannya besar, itu bisa dimengerti karena zaman dulu ada petugas jaga yang menjaga kebersihan saluran. Jadi gorong-gorong itu didesain sedemikian rupa sehingga tidak merepotkan petugas saat harus mengecek. Lalu di titik-titik tertentu juga ada lubang keluar,” kata Dewi.
Isu tempat pembantaian
Di era berbeda, penjajahan Jepang, penguasa kala itu hanya meneruskan kegiatan rumah sakit di kawasan itu. Perubahan hanya terjadi pada tahun 1944, perpindahan lokasi poliklinik dari lokasi lama — yang berdampingan dengan kantor administrasi yang sekarang — ke lokasi saat ini, yang dulu menjadi ruang unit rawat jalan.
Profesor Dewi memperkirakan, gorong-gorong di RS Kariadi terhubung dengan sistem drainase gedung Lawang Sewu. “Para arsitek kota dari Eropa pasti sudah memperhitungkan sistem drainase yang holistik,” katanya.
Kala penjajahan Jepang, ruangan bawah tanah Lawang Sewu diubah menjadi penjara bawah tanah yang dikenal sebagai “penjara jongkok” — karena atapnya yang rendah dan sempit.
Di sana lah, sedadu Jepang kerap menyiksa dan mengeksekusi pejuang Indonesia. Jasad mereka dibuang ke kali yang berada di dekat gedung. Kisah kelam itu memperkuat predikat Lawang Sewu sebagai bangunan angker yang penuh memedi dan penampakan hantu gadis Belanda.
Meski berhubungan, Dewi menepis kemungkinan gua di lingkungan RS Dr Kariadi juga digunakan sebagai lokasi pembantaian. Sebab, Jepang tak banyak mengintervensi bangunan itu. “Saya yakin tak ada pembantaian di sana,” kata dia.
TOPIK LAINNYA
Nyi mas layung sari, bilik misteri, bokep ritual pesugihan, bokep genderowo, Ciri-ciri KETURUNAN Serunting Sakti, Tembok antartika menurut Al Quran, sipahit lidah keturunan siliwangi, Cara menjadi murid Sang Hyang Nur Cahyaning Nirwana, kesaktian angling darma vs siliwangi, missingqeu